Setelah diingat-ingat, dalam rentang waktu kurang lebih setahun ini, saya baru dua kali loh nonton film Indonesia bertema perjuangan. Ga percaya? Coba cek aja label Review Film di blog saya ini. Muahaha.... Modus banget ya ini mah biar pada betah lama-lama stay tune di sini.
Dan bukan suatu kebetulan, kalau kedua film yang saya tonton ini ternyata diproduksi oleh TB Silalahi Pictures. Benang merahnya yang saya tarik dari kedua film ini adalah tentang loyalitas dan profesionalisme seorang prajurit.
Bertepatan dengan peringatan hari TNI yang jatuh pada tagal 5 Oktober 2017 kemarin, Film Merah Putih Memanggil (MPM) secara resmi diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Ada Maruli Tampubolon yang menjadi pemeran utamanya. Ceritanya di sini Maruli memainkan karakter sebagai seorang komandan (kalau ga salah nama sandinya Petir) yang mendapat tugas dari kesatuannya dalam misi pembebasan sandera yang ditawan oleh milisi pemberontak yang dipimpin oleh Aryo Wahab. Dalam waktu 24 jam, mereka harus masuk ke belantara hutan di wilayah Tonga.
Dari 7 sandera yang harus dibebaskan, baru 4 sandera yang berhasil di selamatkan. Dengan alasan yang misterius, 3 sandera yang mana 2 diantaranya adalah orang tua dari sandera bernama Elise (Mentari De Marelle) disembunyikan di tempat yang terpisah. Kepusingan satu-satunya prajurit perempuan yang bertugas sebagai tim medis (saya lupa nama karakternya hahaha) yang diperankan oleh Prisia Nasution menular kepada saya karena kebawelan Elise. Tidak jarang ulahnya bikin jantungan, bisa membahayakan semua orang. Rasa-rasanya saya pengen mukul Elise sampai pingsan. Eh tapi secara kode etik prajurit gitu, dibenarkan ga, sih? Kasian juga sama prajurit yang punya nama samaran Angin harus membopong dua tubuh orang dewasa selama berusaha meloloskan diri dari kejaraan Diego (Restu Sinaga), tangan kanannya Aryo Wahab dan anak-anak buahnya.
Adegan awal pembuka film ini sedikitnya mengingatkan saya pada haru biru yang tampil di film Pasuka Garuda, I Leave My Heart in Libanon. Loyalitas dan profesionalisme seorang prajurit harus dibuktikan ketika harus berpisah dengan keluarga saat tugas memanggil. Sementata salah satu dialog ketika seorang prajurit berseloroh "Ya elah bro, mana ada tuga yang enak buat kita? kalau ada juga bukan buat kita" bisa bikin penonton tersenyum. Saya juga baru tau loh dari film ini kalau identitas yang sifatnya pribadi seperti foto pun tidak boleh dibawa dalam misi. Mungkin pertimbangannya untuk keamanan keluarga di tanah air. Mungkin loh, ya. Tolong koreksi kalau saya salah.
Soal profesionalisme yang digigit kuat juga bisa kita rasakan ketika mereka menghadapi situasi yang sulit. Rasa sakit karena kehilangan teman dalam misi termasuk tingkah sandera seperti Elise yang bikin gemas. Tidak ada watu berlama-lama meratapi kesakitan, tubuh yang luka dan kesedihan. Bahkan ketika harus mengorbankan nyawa sekalipun. Makanya film dengan tagline "Lebih Baik Pulang Nama daripada Gagal Dalam Tugas" pada adegan berikutnya yang lebih mendebarkan. Buat saya, MPM tidak mengizinkan penonton lama-lama terbawa suasana sedih. Malah selama 112 menit menyaksikan film besutannya Mirwan Suwarso, saya lebih banyak dibuat terpesona kadang terhenyak dibuatnya.
Soal profesionalisme yang digigit kuat juga bisa kita rasakan ketika mereka menghadapi situasi yang sulit. Rasa sakit karena kehilangan teman dalam misi termasuk tingkah sandera seperti Elise yang bikin gemas. Tidak ada watu berlama-lama meratapi kesakitan, tubuh yang luka dan kesedihan. Bahkan ketika harus mengorbankan nyawa sekalipun. Makanya film dengan tagline "Lebih Baik Pulang Nama daripada Gagal Dalam Tugas" pada adegan berikutnya yang lebih mendebarkan. Buat saya, MPM tidak mengizinkan penonton lama-lama terbawa suasana sedih. Malah selama 112 menit menyaksikan film besutannya Mirwan Suwarso, saya lebih banyak dibuat terpesona kadang terhenyak dibuatnya.
Walau menyebalkan, karakter Elise lah yang paling mencuri perhatian saya. Ngeselinnya juara :D Sementara kalau ditanya sosok yang palilng heroik di sini saya malah bingung dibuatnya. Semuanya bermain apik.
Catatan spesial saya buat Maruli, genre film yang dimainkannya berbeda jauh dengan film sebelumnya. Kalau di film Terjebak Nostalgia Maruli bermain sebagai sosok yang romantis, di MPM ini dia lebih manly. Bisa bikin ngefans dan klepek-klepek penonton perempuan (hush).
Baca juga : 4 Hal Tentang Film Terjebak Nostalgia
Selain fisik dan kostum yang dikenakannya, penjiwaannya sebagai pemimpin yang berwibawa cukup saya rasakan. Meski cukup terganggu dalam beberapa scene dialog Maruli saat memberikan aba-aba, kordinasi dengan pusat komando atua memberikan instruksi dengan anak buahnya sering menggunakan bahasa Inggris. Apa mungkin secara teknis di lapangan penggunaan bahasa Inggris ini adalah hal yang biasa, ya?
Catatan spesial saya buat Maruli, genre film yang dimainkannya berbeda jauh dengan film sebelumnya. Kalau di film Terjebak Nostalgia Maruli bermain sebagai sosok yang romantis, di MPM ini dia lebih manly. Bisa bikin ngefans dan klepek-klepek penonton perempuan (hush).
Baca juga : 4 Hal Tentang Film Terjebak Nostalgia
Selain fisik dan kostum yang dikenakannya, penjiwaannya sebagai pemimpin yang berwibawa cukup saya rasakan. Meski cukup terganggu dalam beberapa scene dialog Maruli saat memberikan aba-aba, kordinasi dengan pusat komando atua memberikan instruksi dengan anak buahnya sering menggunakan bahasa Inggris. Apa mungkin secara teknis di lapangan penggunaan bahasa Inggris ini adalah hal yang biasa, ya?
Film yang juga melibatkan parjurit asli (bukan figurn biasa) untuk beberapa cast serta atraksi memesona peralatan tempur canggih milik TNI membuat aroma tempur ini cukup terasa. Saya jadi mikir oh gitu ya, prosedur dalam tugas dalam kesatuan? Termauk ketika memberitahukan posisi yang menuntut kemahiran membaa posisi koordinat dan kecepatan angin. Duh, saya senediri kalau dikasih tau arah dengan panduan utara, barat, timur atau selatan loadingnya lamaaaa banget. Suka celingak celinguk dulu lihat posisi matahari. Yang sudah-sudah sih saya lebih suka dikasih tau belok kakan, kiri, lurus, atau patokan berupa gedung/bangunan hahaha. Catet, jangan mremehkan pelajaran geografi.
By the way, kalau dulu-dulu yang jadi karakter antagonis dalam film bertema perang adalah penjajah Belanda atau Jepang, kemunculan teroris sebagai lawan juga mengingatkan fenomena yang marak belakangan ini. Terlepas dari aksen Aryo yang terdengar lebih mirp aktor berkebangsaan hispanik dengan pelafalan R yang kental, film MPM juga memberi penonton pengetahuan baru soal keberadaan negara kepulauan Tonga yang posisi geografisnya dekat dengan Selandia Baru (tuh kan, apa kabar nih sama pelajaran Geografi yang sudah lama menguap?) Cukup unik, karena negara kepulauan ini merupakan wilayah persemakmuran Inggris. Apa mungkin aksen orang-orang Tonga juga seperti yang diucapkan Aryo Wahab di film ini , ya?
Ah sudahlah, kapan-kapan saja siapa tau punya rejeki berlimpah bisa jalan-jalan ke negara Tonga sana, ya. Sebelumnya mari kita nonton dulu Merah Putih Memanggil yang juga diramaikan juga oleh penampilan Happy Salma, loh.
By the way, kalau dulu-dulu yang jadi karakter antagonis dalam film bertema perang adalah penjajah Belanda atau Jepang, kemunculan teroris sebagai lawan juga mengingatkan fenomena yang marak belakangan ini. Terlepas dari aksen Aryo yang terdengar lebih mirp aktor berkebangsaan hispanik dengan pelafalan R yang kental, film MPM juga memberi penonton pengetahuan baru soal keberadaan negara kepulauan Tonga yang posisi geografisnya dekat dengan Selandia Baru (tuh kan, apa kabar nih sama pelajaran Geografi yang sudah lama menguap?) Cukup unik, karena negara kepulauan ini merupakan wilayah persemakmuran Inggris. Apa mungkin aksen orang-orang Tonga juga seperti yang diucapkan Aryo Wahab di film ini , ya?
Ah sudahlah, kapan-kapan saja siapa tau punya rejeki berlimpah bisa jalan-jalan ke negara Tonga sana, ya. Sebelumnya mari kita nonton dulu Merah Putih Memanggil yang juga diramaikan juga oleh penampilan Happy Salma, loh.