"Hayo, kamu makan apa?" dokter David menunjuk jerawat di sudut bibir saya. Saya nyengir dan mengakui kalau saya cheating. Perasaan ga seberapa sih menurut saya, tapi munculnya jerawat itu emang ga bisa dibantah. Ceritanya, beberapa hari sebelum kontrol saya makan buntil. Agak pedes sedikit dan hal lain yang saya abaikan waktu itu adalah adanya ikan teri di balik buntil itu. Yes, teri juga termasuk pencetus alergi saya. Indikasinya ya itu dia, jerawat yang muncul di muka.
Parameter lainnya yang membuat saya alert kalau salah makan adalah terasa gatal di tangan, kaki atau punggung. Soal alergi apa saja yang saya alami, sudah pernah diceritakan di sini, sini juga hasil tesnya di sini. Padahalnya lagi, perjalanan terapi ini ga sebentar, lho (sekitar 1,5 tahun). Dokter cuma membantu aja, kalau sayanya ga disiplin, kapan atuh mau sembuhnya?
Parameter lainnya yang membuat saya alert kalau salah makan adalah terasa gatal di tangan, kaki atau punggung. Soal alergi apa saja yang saya alami, sudah pernah diceritakan di sini, sini juga hasil tesnya di sini. Padahalnya lagi, perjalanan terapi ini ga sebentar, lho (sekitar 1,5 tahun). Dokter cuma membantu aja, kalau sayanya ga disiplin, kapan atuh mau sembuhnya?
Lagi-lagi saya inget omongan Dr David yang mirip Delon itu, kalau pola makan kita sehat, kulit sehat dan cantik itu bakal ngikutin. Semacam bonus. Bonus yang asik pastinya.
![]() |
Ruang perawatan DF Clinic yang nyaman |
Sebelum menjalani perawatan mikrodermabrasi yang rutin dijalani sebulan sekali di DF Clinic, kulit wajah saya diperiksa dulu oleh dr David. Ternyata kulit saya juga perlu perawatan lain jadilah hari itu menjalani dua perawatan, Mikrodermabrasi dan Ionthosporesis.
Kalau perawatan Mikrodermabrasi alias MD ditujukan untuk memberi perawatan pada kulit muka antara lain untuk mengangkat sel kulit mati, mengatasi flek dan menghaluskan pori-pori kulit yang besar. Saya sudah hafal rangkaian ritual yang saja jalani saat perawatan MD ini. Cuma perawatan ionthosporesis ini adalah pengalaman perdana.
![]() |
kotoroan di muka yang dibersihkan |
Setelah perawatan MD, sesi berikutnya yang saya jalani ya ionthosporesis itu. Secara sederhana, ionthosporesis adalah perawatan wajah yang memasukkan vitamin ke dalam kulit wajah. Selain memberi nutrisi ekstra juga membuat wajah jadi lebih cerah dan segar. Waktu alatnya diaplikasikan ke muka, suhunya lumayan tinggi. Ga tau deh berapa derajat panasnya, tapi masih wajar dan ketahan, kok. Hasilnya juga terasa beda. Setelah kurang lebih satu jam, kulit saya selain terasa lebih bersih juga lebih halus dan smooth.
Berbeda dengan perawatan kulit atau wajah di salon, setiap pasien yang datang ke DF Clinic ga bisa asal alias sembarangan milih mau ngambil perawatan. Pendeknya, perawatan di DF Clinic lebih bersifat medis, bukan hanya urusan estetis saja. Jadi, dokter yang akan mendiagnosa perawatan apa yang diperlukan dan obat luar (krim, sabu muka atau paket lainnya) untuk diaplikasikan di rumah.
![]() |
perawatan dari DF buat di rumah |
Untuk kebutuhan saya sendiri, saya dikasih 3 jenis perawtan ini saja. Facial foam, nutri cream dan night cream 2A. Bulan depan kalau saya kontrol lagi bisa jadi obat yang saya terima seperti ini atau berubah, tergantung kondisi kulitnya. Jadi ga bisa asal ceplokin krim itu ke muka. Makanya, apoteker di DF Clinic tidak melayani pembelian obat muka kalau tidak disertai rekomendasi dokter.
Berhubung masalah kulit saya juga dikarenakan masalah pencernaan dari dalam, saya juga diberi resep obat untuk diminum dan ditebus di apotek di luar apotek DF Clinic. Ngomong-ngomong soal pencernaan, waktu itu juga saya nanya soal minuman yang banyak mengandung bakteri sehat untuk usus itu, lho. Hasil tes alergi sih menunjukkan tidak ada masalah buat saya mengonsumsinya. Tapi penjelasan dari Dr David yang bikin saya bengong itu adalah soal konversinya. Untuk membereskan masalah pencernaan, saya membutuhkan 6 pak (bukan 6 botol gitu) setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan bakteri sehat pada saluran pencernaan saya. Mahalnya udah jelas lah, ya. Ga logis pula kalau setiap hari saya menghabiskan uang buat membeli minuman itu.
So, obat yang diresepkan dokter itu lebih murah budgetnya dibanding saya menghabiskan 6 pak minuman itu setiap harinya. Kalau buat minuman rekreasional gitu sih, ga masalah. Cocoknya minuman ini untuk mencukupi kebutuhan bakteri untuk usia anak-anak.
![]() |
Biar ga langu, nge-jus kubisnya campur buah lain. Saya milih kubis alias kol ungu ini karna warnanya menarik hehehe |
Sebelum pulang, dokter David mengingatkan lagi saya untuk lebih hati-hati lagi dengan pola makan. Selain itu variasi konsumsi smoothies sayuran yang biasa saya konsumsi juga bakal bertambah. Saya disarankan untuk bikin (dan diminum juga pastinya) jus kubis. Belum terbiasa, sih. Saya lebih banyak bikin smoothies dengan bahan pakcoy atau sayur lainnya seperti caisim atau bayam. Tapi demi tubuh yang sehat dan bonus cantiknya itu, saya jalanin deh, dok. Apalagi beberapa manfaat dari kubis ini ternyata oke. Antara lain mensuplai kebutuhan serat untuk tubuh, vitamin C yang tinggi, kandungan glutamin pada kubis membantu mengatasi tukak pada lambung, mengatasi sembelit dan membantu mendapatkan kulit yang sehat berkat kandungan antioksidannya (nah ini manfaat yang bisa merayu saya biar mau minum).
![]() |
Setelah perawatan, foto dulu sama dr David. Duh, minder deket dokter yang kulitnya sehat ini |
Hasil eksperimen jus kubisnya saya share aja nanti di blog smoothieslover.com aja, ya.