Hujan deras yang mengguyur Bandung minggu kemarin membuat Bandung semakin dingin. Kerinduan saya dengan hujan terbayar. Enggak boleh ngeluh setelah keinginan itu terjawab. Meski langkah saya tertahan karena harus menunggu hujan reda. Dua kali memesan Gojek, dua kali dicancel. Yang pertama drivernya lupa menyimpan kunci lalu mengirim pesan singkat. Silahkan cancel kalau buru-buru. Oke, fix. Yang kedua datang ketika hujan semakin deras. Masalah berikutnya driver ini ga bawa jas hujan. Enggak mungkin juga saya dibonceng dan melindungi diri dengan payung. Tetap kuyup dan konyol, kan? Akhirnya, gojek ketiga datang. Well prepared. Jas hujan berikut celana kedap air tersedia di dashboard. Nice. Saya gak jadi kuyup waktu datang ke arena festival Geo Park di Ciletuh. Hari terakhir, sih. Makanya saya bela-belain datang meski haru menembus hujan yang dingin dan sedikit drama pesanan ojek aplikasi itu.
Sampai dilokasi, sejumlah anak-anak usia TK dengan pakaian yang nyunda banget terlihat hilir mudik di arena acara. Lokasinya berhadapan dengan Masjid raya di komplek Trans Studio Mall alias TSM. Beberapa pria berpakaian serba hitam dan iket sunda sedang memainkan alat musik khas sunda. Rasanya seperti balik lagi ke jaman saya remaja dulu. Hujan yang baru saja beranjak meninggalkan jejak suasana seperti Bandung dulu, dan suasana alami yang terasa dengan dekorasi dan beberapa display yang dipajang di sana. Salah satunya adalah display yang memajang dua boboko alais bakul yang memamerkan nasi merah dan nasi hitam. Iya, baru kemarin ini sih, saya ngebahas tentang beras merah.
Tidak perlu lama menunggu, teteh dan aa yang lagi on duty di sana melayani pertanyaan saya dengan ramah. Selain terlihat lebih cantik dan warnanya yang menarik, kedua jenis beras ini juga punya ciri kha lain. Kan, biasanya kalau dipegang, beras tuh biasanya suka ninggalin serbuk putih di telapak tangan. Tapi yang ini beda. Ga ada jejak yang tertingal di tangan. Pare alias padi yang bulirnya belum terkelupas jadi beras itu juga ikut dipamerkan. Saya malah diijinkanbut motekin salah satu bulirnya. Ih, lucuuuuu... (kebiasaan deh kalau uda muji gini).
Beras merah dan beras hitam ini ditanam di Huma dengan luas arealnya sudah mencapai hektaran. Bisanya baru dipanen setelah selang 6 bulan ditanam dan tidak menggunakan pupuk kimia. It's really organic! Sayangnya yang dipajang di area pameran Geopark Ciletuh ini ga bis dijual. Saya malah dirayu sama tetehnya buat maen ke sana. Nah, bisa puas deh beli beras yang per kilonya itu dibanderol seharga Rp.50.000. Mahal, ya? Tapi saya pengen beli dan nyicipin, ah. Iya,udah niat pengen liburan ke Ciletuh. Lokasinya ga jauh dari ujung Genteng.
Bukan cuma padi merah dan padi hitam aja yang jadi kebanggaan desa wisata Ciletuh ini. Ada produksi gula aren yang sizenya gede banget, lukisan batiknya yang menarik dan pesona alamnya dengan beberapa air terjunnya yang membuat saya membayangkan tampiasnya berlomba-lomba mampir di muka. Wiiih, seger kayaknya!
Menyimak penjelasan tentang pesona wisata di Ciletuh ini membuat saya harus merivisi lagi impian saya. Banyak surga tersembunyi yang sayanya belum mudeng. Semoga banyak waktu dan uang (pastinya) untuk menikmati lukisan alam ini. Daaan salah satunya adalah Ciletuh ini.