Saya lagi pengen ngomongin film lagi. Film barat dan sayangnya udah jadul hehehe. Eh tapi jangan langsung cuss aja. Saya yakin film ini banyak yang sepakat punya moral story yang keren. Lebih kerennya lagi bersih dari sisipan adegan dewasa. Keren, lah. Ga bikin risih atau siap-siap tombol FF buat skip scene tertentu.
Jadi nih saya pengen ngobrolin film The Pursuit of Happyness. Kita sepakati dulu kalau tulisan saya ini bukan review. Pertama karena udah jadul (rilis tahun 2007) dan bakal banyak spoilnya (boleh dong, ya hehehe). Yang kedua, saya saya bakal lebih ngebahas pesan film itu. Ya, sudut pandang saya yang simpel aja. sih. Ga terlalu berat. Apalagi saya belum pengalaman jadi orangtua (((orangtua))). Lebih banyak yang berkompeten buat ngebahas soal ini. But anyway, once more, ini sudut pandang saya yang sederhana. Mari berdiskusi dengan santai, ya.
![]() |
credit: sonypictures.com |
Kalau mengacu tata bahasa Inggris yang baik dan benar, harusnya judul film ini adalah The Pursuit of Happyness. Iya, pake i bukan y. Di awal film ini juga Will Smith sempat complain sama pesuruh di daycare tempat Christopher (diperankan oleh Jaden Smith, anak Will Smith sendiri) soal penulisan happyness. Harusnya pake i (happiness) bukan y (happyness). Ah sudahlah, tulisan saya ga akan bahas soal itu. Sama seperti juga tokoh utama film ini. Alih-alih ribut mempermasalahkan cara penulisan yang ngaco, dia malah sibuk sendiri mewujudkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Jadi gini ceritanya.
Chris Gardner begitu nama ayah yang diperankan Will Smith. Aktor yang serba bisa - meski ga tau juga kalau disuruh nyuci, masak, berkebun dsb bisa ga selain pencitraan di film? hehehe, ngaco ah - ini, kali ini adalah sosok seorang ayah yang berusaha sekuat tenaga menciptakan kebahagiaan untuk keluarganya. Untuk istrinya, Linda dan anak semata wayangnya Christopher. Sayangnya Linda tidak cukup kuat bertahan dengan himpitan ekonomi yang terasa sulit.
Christopher, bocah berambut curly dan polos ini tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya berpisah. Duh, sedih deh, waktu lihat salah satu scene ketika Christ bertanya, apakah ibunya meninggalkan mereka karena dia (Christopher)? Jawaban yang bikin saya mencelos ketika Chris menjawab kalau Linda pergi bukan karena dia. Tidak ada hubungannya sama sekali kepergian Linda dengan bocah polos itu.
Christopher, bocah berambut curly dan polos ini tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya berpisah. Duh, sedih deh, waktu lihat salah satu scene ketika Christ bertanya, apakah ibunya meninggalkan mereka karena dia (Christopher)? Jawaban yang bikin saya mencelos ketika Chris menjawab kalau Linda pergi bukan karena dia. Tidak ada hubungannya sama sekali kepergian Linda dengan bocah polos itu.
Film drama yang diangkat dari pengalaman sejati alias true story ini dalam beberapa adegan cukup membuat penonton menahan nafas. Memang enggak ada adegan bak buk alias berantem, tembak-tembakan seperti film laga atau efek visual canggih ketika Will Smith main di film Enemy of the State misalnya. Tapi adegan Chris yang berlari mengejar gadis Hippies yang membawa kabur scanner tulang (bone density scanner), tunawisma yang kurang waras - yang terus ngoceh scannernya itu mesin waktu - dan mengambilnya di stasiun kereta ketika tangan Chris terjepit pintu kereta harus terlepas, atau emosinya Chris ketika harus berebut antrian di rumah singgah untuk tunawisma. Chris sudah ga bisa membayar sewa bulanannya hingga harus bertahan mencari tempat untuk numpang tidur.
Adegan lainnya yang bikin sedih juga ketika Christoper nangis mainannya jatuh saat kedua ayah dan anak itu berlari mengejar bus, waktu keduanya terpaksa tidur di toilet umum beralaskan lembaran tissue dan Chris yang beneran bokek tetap berusaha memastikan Christopher tetap bisa makan. Bocah curly itu makan seadanya, sementara Chris cuma diam memerhatikan dan di meja seberangnya ia mellihat meja lain yang diisi keluarga sedang makan enak sambil bercengkerama.
Meski hidup terasa semakin susah, ia tidak pernah membiarkan Christopher ikutan merana. Selain tetap makan, ia tetap mengantar jemput puteranya untuk sekolah dan mengajaknya bermain bersama. Cool dad!
Dialog lain antara bapak dan anak yang saya suka ketika keduanya membahas siapa raja hutan atau kenapa salah soal penulisan happyness itu, dan jawaban bijak Chris soal kata f**k.
![]() |
tetap happy meski hidup terasa sulit. Credit: popmatters.com |
Dialog lain antara bapak dan anak yang saya suka ketika keduanya membahas siapa raja hutan atau kenapa salah soal penulisan happyness itu, dan jawaban bijak Chris soal kata f**k.
"Itu kata-kata yang digunakan orang dewasa untuk mengungkakan kemarahannya atau hal-hal lainnya. Itu itu bukan kata-kata orang dewasa. Cara pengejaannnya betul tapi jangan pernah mengatakannya."
atau yang ini.
"Hei, jangan pernah biarkan orang lain bilangkamu tidak bisa melakukan sesuatu. Termasuk aku.Oke?"
Tapi paling suka sih, waktu dia bilang gini.
"Kamu punya mimpi... Kamu harus menjaganya. Orang yang tidak bisa melakukannya akan bilang kamu tidak bisa melakukannya. Kalau kamu ingin sesuatu, berusahalah untuk mendapatkannya. Titik."
Kadang dibuat bingung juga sih, gimana Chris masih bisa pergi membayar ongkos atau makan untuk Christopher saat bokek, bisa nyetrika pakaiannya tetep rapi jali (sementara dia kan udah ga punya rumah, itu numpang nyetrika di mana, ya? Kayak waktu tidur di toilet stasiun itu), atau ketika sepatunya hilang, di lain waktu ia bisa punya sepatu baru padahal scannernya belum laku terjual.
Iya, sih, sesekali waktu dia berhasil menjual scanner tulang yang mahal itu. Tapi sepertinya bayaran yang didapat sebesar 250 dolar itu cepat sekali menguapnya. Eh tapi moral storynya dari bagian ini adalah dia juga berusaha tetap tampil profesional. Tidak berusaha menunjukkan dia harus dikasihani, bahkan ketika ngantor pun dia menjawab dengan santai kenapa terus menenteng kopernya ke mana-mana.
Iya, sih, sesekali waktu dia berhasil menjual scanner tulang yang mahal itu. Tapi sepertinya bayaran yang didapat sebesar 250 dolar itu cepat sekali menguapnya. Eh tapi moral storynya dari bagian ini adalah dia juga berusaha tetap tampil profesional. Tidak berusaha menunjukkan dia harus dikasihani, bahkan ketika ngantor pun dia menjawab dengan santai kenapa terus menenteng kopernya ke mana-mana.
Di lain waktu ia juga sempat merasa tidak enak hati ketika harus nalangin ongkos taksi bosnya yang ketinggalan dompet. Buat seorang yang lagi beneran bokek, 5 dolar itu berarti banget. Lagi pula San Fransisco itu kan salah satu kota besar dunia yang keras dan biaya hidup di sana tidak murah. Emang ada fasilitas dari pemerintah kota buat para tunawisma buat numpang tidur barang beberapa malam, tapi space yang tersedia tidak pernah bisa menampung semuanya mereka yang ngantri.
Pernah dengar istilah "The Power of Kepepet?" Dalam keadaan terjepit seperti ini, kadang seseorang bakal berusaha total mengeluarkan potensinya sebisa mungkin. Chris berhasil membuktikannya. Dia berhasil merebut kembali dari gadis hippies yang membawa scanner tulang yang sempat dititipkannya saat akan wawancara magang di perusahaan pialang saham Dean Witter, mendapatkan kembali scanner dari tunawisma yang ngoceh soal mesin waktu itu, memperbaikinya dan berhasil clossing alias menjual pada seorang dokter atau adegan lari-larian Chris yang berusaha menembus kemacetan jalan untuk menjumpai kliennya, meskipun akhirnya keburu pergi. Karena film ini mengambil seting taun 1981, Chris pastinya ga bisa nelpon calon kliennya itu untuk bilang dia bakal datang telat.
Beberapa adegan membuat saya menahan nafas atau kadang pengen nangis ketika Chris hampir-hampir menyerah. Tapi Tuhan Maha Baik. Pernah dengar kan, kalau Tuhan tidak akan mengubah nasib kalau kita tidak pernah berusaha berusaha? Ending film ini jadi jawaban yang manis dari semua kegigihan Chris Gardner.
Dalam kisah sejatinya, Chris Gardner berhasil menjadi pialang saham yang sukses dan mendirikan perusahaannya sendiri. Kalau di awal film dia merasa envy kenapa kerumunan orang-orang yang ditemuinya bsa terlihat bahagia, maka di akhir cerita dia bisa merasakan hal yang sama ketika tim direksi perusahaan mengapresiasi kerja kerasnya dan mengangkatnya jadi karyawan.
Kadang perlu kesabaran yang luas untuk menunggu pintu langit terbuka menjawab barisan doa dan usaha kita. Chris Gardner dalam film ini membuktikannya. Sayang sekali, Linda terlalu cepat menyerah dan memilih meninggalkan suami dan anaknya itu.
Kadang perlu kesabaran yang luas untuk menunggu pintu langit terbuka menjawab barisan doa dan usaha kita. Chris Gardner dalam film ini membuktikannya. Sayang sekali, Linda terlalu cepat menyerah dan memilih meninggalkan suami dan anaknya itu.