Quantcast
Channel: Catatan Efi
Viewing all articles
Browse latest Browse all 735

Moral Story dari Film The Pursuit of Happyness

$
0
0
Saya lagi pengen ngomongin film lagi. Film barat dan sayangnya  udah  jadul hehehe. Eh tapi jangan langsung cuss aja. Saya yakin film ini banyak yang sepakat  punya moral story yang keren. Lebih kerennya lagi bersih dari sisipan adegan  dewasa.  Keren, lah. Ga bikin risih atau siap-siap tombol FF buat skip  scene tertentu.
Jadi nih saya  pengen ngobrolin film The Pursuit of Happyness.  Kita sepakati dulu kalau tulisan saya ini  bukan review.  Pertama karena udah jadul (rilis tahun 2007) dan bakal banyak spoilnya  (boleh dong, ya hehehe). Yang kedua, saya saya bakal lebih ngebahas  pesan film itu. Ya,  sudut pandang saya yang simpel aja. sih.  Ga terlalu berat.  Apalagi saya  belum pengalaman  jadi orangtua (((orangtua))).  Lebih banyak  yang berkompeten buat ngebahas soal ini. But anyway,  once more, ini sudut pandang saya yang sederhana. Mari  berdiskusi dengan santai, ya.
http://www.catatan-efi.com/2016/02/moral-story-dari-film-the-pursuit-of-happyness.html
credit: sonypictures.com
Kalau mengacu tata bahasa Inggris  yang baik dan benar, harusnya judul film ini  adalah The Pursuit of Happyness.  Iya, pake i bukan y.  Di awal film ini  juga Will Smith sempat complain sama pesuruh  di daycare  tempat Christopher  (diperankan oleh Jaden Smith, anak Will Smith sendiri) soal penulisan happyness. Harusnya pake i (happiness) bukan y (happyness).  Ah sudahlah,  tulisan saya ga akan bahas soal itu. Sama seperti juga tokoh utama film ini. Alih-alih ribut mempermasalahkan cara penulisan yang ngaco, dia malah sibuk sendiri mewujudkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jadi  gini ceritanya.
Chris Gardner  begitu nama ayah yang diperankan Will Smith. Aktor  yang serba bisa  - meski  ga tau juga kalau disuruh nyuci, masak,  berkebun dsb bisa ga selain pencitraan di film? hehehe, ngaco ah -  ini, kali ini adalah sosok seorang ayah yang berusaha sekuat tenaga menciptakan kebahagiaan untuk keluarganya. Untuk istrinya, Linda dan anak semata wayangnya Christopher. Sayangnya Linda tidak cukup  kuat bertahan dengan himpitan ekonomi  yang terasa sulit.

Christopher, bocah berambut curly dan polos  ini  tidak  mengerti  kenapa  kedua orangtuanya berpisah. Duh, sedih deh, waktu lihat salah satu scene ketika Christ bertanya, apakah ibunya meninggalkan mereka  karena dia (Christopher)?  Jawaban yang  bikin saya mencelos ketika  Chris  menjawab kalau  Linda pergi bukan karena  dia.  Tidak ada hubungannya sama sekali kepergian Linda dengan bocah  polos  itu.   

Film drama  yang diangkat dari pengalaman sejati alias true story ini  dalam beberapa adegan cukup membuat penonton menahan nafas. Memang  enggak ada adegan  bak buk  alias  berantem, tembak-tembakan   seperti film laga atau efek visual canggih ketika Will Smith main di film Enemy of  the State misalnya. Tapi adegan Chris yang berlari mengejar gadis Hippies  yang membawa kabur scanner  tulang (bone  density scanner),  tunawisma  yang kurang waras - yang terus ngoceh scannernya itu mesin waktu - dan mengambilnya di stasiun kereta ketika tangan Chris terjepit pintu kereta harus terlepas,  atau  emosinya Chris ketika  harus berebut antrian di  rumah singgah untuk tunawisma. Chris sudah ga bisa membayar  sewa  bulanannya hingga harus bertahan mencari tempat untuk numpang tidur.

Adegan lainnya yang bikin sedih juga ketika Christoper  nangis mainannya jatuh saat kedua ayah dan anak itu berlari mengejar  bus,    waktu keduanya terpaksa tidur di toilet umum  beralaskan lembaran tissue  dan Chris  yang beneran bokek tetap  berusaha  memastikan  Christopher tetap bisa makan. Bocah curly itu makan seadanya, sementara Chris cuma diam memerhatikan dan di meja seberangnya ia mellihat  meja lain yang diisi keluarga sedang makan enak sambil bercengkerama.
http://www.catatan-efi.com/2016/02/moral-story-dari-film-the-pursuit-of-happyness.html
tetap  happy  meski  hidup terasa sulit. Credit: popmatters.com
Meski hidup  terasa semakin susah,  ia tidak pernah membiarkan  Christopher ikutan merana.  Selain tetap makan,   ia  tetap  mengantar jemput  puteranya untuk sekolah dan mengajaknya bermain bersama. Cool dad!

Dialog lain antara bapak dan anak yang saya suka ketika keduanya  membahas  siapa raja hutan atau kenapa  salah  soal penulisan happyness itu, dan jawaban bijak Chris soal  kata f**k.  

"Itu kata-kata yang digunakan orang dewasa untuk mengungkakan kemarahannya atau hal-hal lainnya.  Itu itu bukan kata-kata orang dewasa. Cara pengejaannnya  betul tapi jangan pernah mengatakannya."
atau yang ini.

"Hei, jangan pernah biarkan orang lain bilangkamu tidak bisa melakukan sesuatu.  Termasuk aku.Oke?"
Tapi  paling suka sih, waktu dia bilang gini.

"Kamu punya mimpi... Kamu harus menjaganya. Orang  yang tidak bisa melakukannya akan bilang kamu tidak bisa melakukannya.  Kalau kamu ingin sesuatu,  berusahalah untuk mendapatkannya. Titik."

Kadang dibuat bingung juga sih, gimana Chris  masih bisa pergi membayar  ongkos atau makan untuk Christopher saat bokek, bisa nyetrika pakaiannya tetep  rapi jali (sementara  dia kan udah ga punya rumah, itu numpang nyetrika di mana, ya? Kayak waktu tidur di toilet stasiun itu), atau ketika sepatunya hilang, di lain waktu ia bisa  punya sepatu baru padahal scannernya  belum laku terjual.

Iya, sih, sesekali waktu dia berhasil menjual  scanner  tulang yang mahal itu.  Tapi sepertinya bayaran yang didapat sebesar 250 dolar  itu cepat sekali menguapnya. Eh tapi moral storynya  dari bagian ini adalah dia juga berusaha tetap tampil  profesional.  Tidak berusaha menunjukkan dia  harus dikasihani, bahkan ketika ngantor  pun dia  menjawab dengan santai kenapa  terus menenteng kopernya ke mana-mana.

Di lain waktu ia juga sempat merasa tidak enak hati ketika harus  nalangin  ongkos taksi bosnya  yang ketinggalan dompet. Buat seorang yang lagi beneran bokek, 5 dolar itu berarti banget.  Lagi pula San Fransisco itu kan salah satu kota besar dunia yang keras dan biaya hidup di sana tidak murah. Emang ada fasilitas dari pemerintah kota buat para tunawisma  buat numpang tidur barang beberapa malam, tapi space yang tersedia tidak pernah bisa menampung semuanya mereka yang ngantri.

Pernah dengar  istilah "The Power  of Kepepet?" Dalam keadaan terjepit seperti  ini,  kadang seseorang bakal berusaha total  mengeluarkan potensinya sebisa mungkin. Chris berhasil membuktikannya. Dia berhasil merebut  kembali  dari gadis hippies yang membawa scanner tulang  yang sempat dititipkannya saat  akan wawancara magang di perusahaan pialang saham Dean Witter,  mendapatkan kembali scanner  dari tunawisma yang ngoceh soal mesin waktu itu, memperbaikinya dan berhasil clossing  alias menjual pada seorang dokter  atau adegan lari-larian Chris  yang berusaha menembus  kemacetan  jalan untuk menjumpai  kliennya, meskipun  akhirnya  keburu pergi.  Karena film ini mengambil seting taun 1981, Chris  pastinya ga bisa nelpon  calon kliennya itu untuk bilang dia bakal datang telat.  

Beberapa adegan membuat saya menahan nafas atau kadang pengen  nangis  ketika Chris  hampir-hampir menyerah. Tapi Tuhan Maha Baik. Pernah dengar kan, kalau  Tuhan tidak akan mengubah nasib kalau  kita tidak pernah berusaha berusaha?  Ending film ini jadi jawaban yang manis dari semua kegigihan  Chris Gardner.  

Dalam kisah sejatinya,  Chris Gardner berhasil menjadi pialang saham  yang sukses dan mendirikan perusahaannya sendiri. Kalau di awal film dia merasa envy kenapa  kerumunan orang-orang yang ditemuinya bsa terlihat  bahagia,  maka di akhir  cerita  dia bisa merasakan hal yang sama ketika  tim direksi perusahaan mengapresiasi  kerja kerasnya dan mengangkatnya jadi karyawan.

Kadang perlu kesabaran  yang luas untuk menunggu pintu langit terbuka menjawab barisan doa dan usaha kita.  Chris Gardner dalam film ini membuktikannya. Sayang sekali, Linda terlalu cepat menyerah dan memilih meninggalkan  suami dan anaknya itu. 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 735

Trending Articles